Anah Chairunnisa: Contoh Laporan Hasil Observasi
selamat datang di blog Anah Chairunnisa..^_^
Minggu, 01 April 2012
Sabtu, 31 Maret 2012
Psikologi Pendidikan
PEMBAHASAN
2.1 Karakteristik Pada
Fase Orok
Masa orok merupakan masa perkembangan yang terpendek dalam kehidupan
manusia. Fase orok biasanya dimulai dari sejak lahir sampai usia dua minggu.
Masa orok dibagi dalam dua masa, yakni masa pertunate yang berlangsung selama
15-30 menit pertama sejak lahir sampai tali pusatnya digunting, dan masa
neonate yaitu diguntingnya tali pusat sampai usia dua minggu. Pada fase ini sangat
bergantung pada orang lain terutama ibunya.
Usia 0.0-0.2 Minggu disebut dengan fase
orok, pada awal masa orok gerakan-gerakan bayi masih banyak yang muncul
dari instingnya, menjelang usia 7-8 bulan, perasaan atau emosi bayi mulai
muncul, walaupun rasio atau pikirannya belum berfungsi sama sekali. Pada usia
12-14 bulan, bayi mulai mengenal lingkungannya, baik lingkungan fisik ataupun sosial.
Bayi mulai bisa membedakan benda-benda dan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Secara bertahap, bayi mulai memahami hubungan antar “kata” dengan apa atau
siapa saja yang ada di sekitarnya. Dan untuk itu, bayi mulai memerlukan alat
ekspresi yang disebut “bahasa”. Mulai masa inilah bayi mulai belajar mengenal
bahasa dari sekitarnya. Pemerolehan bahasa pada bayi sangatlah bertahap yang di
bagi dalam beberapa fase.
Pada fase orok memiliki
karakteristik perkembangan sebagai berikut :
1. Perkembangan
fisik, Pada saat lahir, umum nya berat badan orok kira-kira 3,5 kg dan
panjangnya 50cm. Laki-laki biasanya agak lebih berat dan lebih panjang daripada
perempuan. Kepalanya kira-kira ¼ dri panjang badannya. Bernafas, makan dan
pembuangan selama lahir melalui plasenta. Pada saat lahir biasanya terdengar
jerit tangis, itulah dimulainya peru-paru berkembang dan memulai pernafasan.
Bila orok merasa lapar biasanya bibir orok akan bergerak-gerak jika disentuh.
Denyut nadi orok lebih cepat berkisar antara 130-150 denyutan namun ketika
beranjak anak-anak denyut ndi pun akan berkurang hingga beranjak dewasa.
2. Kegiatan
– kegiatan Orok
a. Kegiatan menyeluruh, Kegiatan ini mencakup kegiatan-kegiatan umum dari seluruh badan. Misalnya, apabila tangan kirinya dirangsang (dicubit) maka tidak hanya tangan kirinya yang bergerak tetapi juga tangan kanannya, dan bahkan ia mendendangkan kakinya dan akhirnya menangis bila rangsangan itu terlalu kuat.
b. Kegiatan khusus, Kegiatan ini mencakup kegiatan-kegiatan reflex yang merupakan respon yang tidak disadari terhadap perangsang-perangsang tertenyu. Misalnya bila bibir ibu menyentuh bibirnya maka ia akan menjulurkan lidahnya atau mengibaskan kaki bila kakinya dielus, menguap, bersin dan lain-lain.
a. Kegiatan menyeluruh, Kegiatan ini mencakup kegiatan-kegiatan umum dari seluruh badan. Misalnya, apabila tangan kirinya dirangsang (dicubit) maka tidak hanya tangan kirinya yang bergerak tetapi juga tangan kanannya, dan bahkan ia mendendangkan kakinya dan akhirnya menangis bila rangsangan itu terlalu kuat.
b. Kegiatan khusus, Kegiatan ini mencakup kegiatan-kegiatan reflex yang merupakan respon yang tidak disadari terhadap perangsang-perangsang tertenyu. Misalnya bila bibir ibu menyentuh bibirnya maka ia akan menjulurkan lidahnya atau mengibaskan kaki bila kakinya dielus, menguap, bersin dan lain-lain.
3. Vokalisasi
, Perkembangan vocal (suara) dimulai, dengan menangis yang biasanya dimulai
sejak lahir. Maksud tangisan adalah untuk mengembangkan paru-paru sehingga
memungkinkan pernafasan dan penyediaan oksigen yang cukup bagi darah. Orok juga
sekali-kali mengeluarkan suara yang terjadi begitu saja tanpa mempunyai maksud
tertentu. Misalnya mengucapkan “eh”. Suara itu perlahan berkembang menjadi
mengoceh yang selanjutnya akan menjadi bercakap.
4. Perkembangan
Kepribadian, Sifat fisik dan spikis yang menjadi dasar kepribadian berasal dari
sifat-sifat kebakaan yang menjadi matang. Perkembangan kepribadaian ini
disamping dipengaruhi oleh factor kebakaan juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan terutama kasih saying ibu. Masa ini ditandai oleh ketergantungan
yang penuh kepada orang lain (ibu) dengan kasih sayangnya.
2.2 Karakteristik Pada
Fase Bayi
Masa
bayi dimulai sejak berakhirnya masa orok biasanya setelah dua minggu sampai dua
tahun. Bayi sudah tidak terlalu tergantung pada orang lain. Hal ini disebabkan
oleh semakin bertambahnya kemampuan bayi. Fase Bayi merupakan fase perkembagan pertama manusia di muka bumi,
sebagai manusia baru, bayi dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya, seakan-akan
pasif, dan pada fase ini seluruh
waktunya dihabiskan hanya dengan tidur, minum serta makan, berperilaku spontan
serta bereaksi dengan lingkungan sekitarnya.
Pernyataan
diatas sesuai dengan Firman Allah dalam Surat An-Nahl Ayat : 78 yang artinya : “Dan Allah Mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu
bersyukur (78).
Pertumbuhan pada masa bayi terlihat
menonjol dalam fisik maupun psikologis.
Lambat laun, melalui perkembangannya seorang bayi mulai menurunkan
ketergantungannya dengan kemampuan untuk bisa duduk, berdiri, berjalan, berlari
serta memanipulasi objek disekitarnya. Masa bayi sesungguhnya merupakan fondasi
dari periode kehidupan mendatang, yakni fondasi dari berbagai pola perilaku,
sikap dan emosinya. Masa bayi juga merupakan usia yang rapuh, baik untuk fisik,
penyakit maupun kecelakaan serta perkembangan psikologisnya.
Tugas perkembangan pada masa bayi adalah
:
1.
Belajar berjalan,
2.
Memakan makanan yang keras,
3.
Mampu mengontrol organ-organ tubuhnya,
4.
Mencapai kemantapan fisiologis baik
untuk makan dan tidur,
5.
Belajar berbicara,
6.
Belajar berhubungan secara emosional
dengan orang tua dan saudara-saudaranya, dan
7.
Pada akhir masa bayi bayi telah mampu
berkata-kata dengan pengucapan yang baik dan benar serta
8.
Memiliki kemampuan memahami pembicaraan
orang lain dan menjalin komunikasi dalam tingkatan tertentu.
Perkembangan
fisik pada masa bayi merupakan salah satu yang menonjol dari dua periode lain
dalam kehidupan manusia, yang penting
untuk diketahui pada masa bayilah pola-pola dasar fisiologis terbentuk seperti
makanan, tidur dan eliminasi secara mantap meskipun pembentukan kebiasaan masih
akan berlangsung. Perkembangan yang menonjol pada proses perkembangan bayi dan
Anak-anak adalah meliputi :
1.
Perkembangan bicara
Perkembangan
pada masa bayi yang menonjol adalah dalam tiga bentuk, yaitu menangis, meracau
dan gesterus (gerak-gerik). Meracau
muncul saat bayi berusia enam bulan dalam bentuk mengkombinasikan bunyi hidup
dan bunyi masti seperti ma-ma, da-da
atau na-na yang mencapai puncaknya saat bayi berusia delapan bulan untuk
akhirnya secara bertahap berubah menjadi kata-kata jelas. Sedangkan gerak-gerik
digunakan bayi sebagai pengganti bicara. Meskipun bayi telah mampu untuk
berbicara, gerak-gerik ini akan terus berlanjut dan dikombinasikannya dengan
kata-kata yang diketahuinya.
2.
Perkembangan emosi
Perkembangan
emosi pada bayi, pada awalnya tampil
sederhana. Bayi yang berbeda akan memberikan respons yang tidak sama pada
rangsangan yang datang dan bergantung pada pengalaman sebelumnya. Banyak faktor
yang mempengaruhi respons emosional pada bayi yang tidak saja bergantung pada
kondisi fisik dan mentalnya saat rangsangan itu terjadi, namun juga seberapa
berhasilnya rangsangan tersebut memenuhi kebutuhan dirinya.
3.
Perkembangan Sosial
Perkembangan
sosial pada masa bayi memegang peranan penting untuk menentukan hubungan
sosialnya pada masa mendatang serta pola perilaku pada orang lain. Rumah
merupakan pusat tempat bayi dibesarkan dan untuk itu dirumah pulalah pondasi
hubungan sosial tersebut terbentuk. Beberapa
penelitian sosial menunjukkan betapa pentingnya pondasi sosial ini
terbentuk pada masa bayi. Beberapa respons sosial bayi pada orang dewasa dapat
disebut sebagai berikut:
a.
Pada usia 2-3 bulan bayi sudah dapat
membedakan antara orang dan bukan orang, serta orang-orang manakah yang dapat
memenuhi kebutuhan dirinya, ia akan merasa puas jika bersama orang lain dan
merasa tidak puas jika ditinggal sedirian namun bayi belum menunjukkan
keberpihakan pada seseorang.
b.
Pada usia 4-5 bulan bayi mau digendong oleh siapa saja yang mengangkatnya
serta mampu bereaksi secara berbeda terhadap suara yang keras maupun ramah
serta senyuman maupun sungutan.
c.
Pada usia 6-7 bulan bayi dapat
membedakan antara temannya dan orang
asing dengan memberikan senyuman atau menunjukkan ketakutan. Bayi mulai
memasuki usia malu-malu (shy age). Ia mulai
terikat pada emosional dengan ibunya dan menunjukkan ketidakramahannya
pada orang lain. Sedangkan dengan bayi lain ia mampu memberikan senyuman dan
menunjukkan minatnya melalui jeritan yang diberikan.
d.
Pada usia 8-9 bulan bayi berusaha untuk
berbicara, bergerak-gerik dan melakukan gerakan sederhana pada orang lain.
Antara usia 9-13 bulan reaksinya terhadap bayi lain adalah mencontoh
gerak-gerik maupun suara, serta menunjukkan kemarahannya jika mainannya dirampas
oleh temannya, meskipun ia sendiri mulai menunjukkan kebersamaannya dengan
orang lain.
e.
Pada usia 12 bulan bayi telah bereaksi
terhadap perkataan “tidak”.
f.
Pada usia 16-18 bulan bayi menunjukkan
sikap negatifnya atau keras kepalanya terhadap larangan atau permintaan dari
orang dewasa, yang tampak terlihat dari kemarahannya maupun penolakan fisiknya.
Sedangkan pada bayi lain terlihat reaksi bahwa
ia sudah mulai mengurangi rebutan mainan dengan bayi lain dan mau membagi
serta menunjukkan keinginannya untuk bermain bersama.
g.
Pada usia 22-24 bulan bayi mulai bekerja
sama dengan sejumlah kegiatan rutin seperti mandi, memakai pakaian, serat
makan. Ia juga lebih menunjukkan minat bermain bersama bayi lainnya dan
menggunakan permainan untuk memantapkan hubungannya tersebut.
4.
Perkembangan Moral :
Perkembangan moral pada bayi belum
terlihat, seorang bayi adalah nonmoral, yaitu perilakunya tidak dipandu dengan
atau oleh standar moral. Belajar untuk berperilaku secara sosial merupakan
suatu proses yang panjang dan lambat. Keterbatasan inteligensi yang dimiliki
membuat bayi pada awalnya menilai salah dan betul melalui sakit atau tidaknya
yang ia rasakan dari akibatnya bagi orang lain. Seorang bayi belum memiliki rasa bersalah karena belum
mempunyai kemampuan untuk menilai hal tersebut. Perkembangan pemahaman
diperolehnya melalui pengamatan yang diolahnya kembali dengan kapasitas
inteligensi yang dimilikinya.
2.3 Karakteristik Pada
Fase Pra Sekolah
Anak
usia prasekolah merupakan perkembangan individu yang terjadi sekitar usia 2-6
tahun, pada usia ini anak berusaha mengendalikan lingkungan dan mulai belajar
menyesuaikan diri secara rasional. Usia ini juga sering disebut dengan masa
pancaroba, karena pada umumnya anak pada masa ini dorongan keingintahuannnya
sangat kuat.
a.
Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan
perkembangan berikutnya. Dengan meningkatnya pertumbuhan tubuh, baik menyangkut
ukuran berat dan tinggi, maupun kekuatannya memungkinkan anak untuk dapat lebih
mengembangkan ketrampilan fisiknya, dan eksplorasi terhadap lingkungannya
dengan tanpa bantuan dari orangtuannya. Perkembangan sistem syaraf pusat
memberikan kesiapan kepada anak untuk lebih dapat meningkatkan pemahaman dan
penguasaan terhadap tubuhnya.
b.
Perkembangan Intelektual
Menurut
Piaget, perkembangan kognitif pada usia ini berada pada periode preopersional
yaitu tahapan dimana anak belum mampu menguasai oprasi mental secara logis.
Periode ini ditandai dengan berkembangnya representasional atau “symbolic
function” kemampuan untuk menggunakan symbol-simbol bahasa, gambar, tanda/isyarat, benda,
gesture, atau peristiwa. Anak mampu berimajinasi atau berfantasi tentang
berbagai hal dan dapat menggunakan kata-kata, peristiwa dan benda untuk melambangkan
yang lain.
Keterbatasan yang menandai atau yang
menjadi karakteristik periode preoperasional sebagai berikut :
1. Egosentrisme
1. Egosentrisme
Anak cenderung untuk mempersepsi, memahami dan menafsirkan
sesuatu berdasarkan sudut pandang sendiri. Salah satu implikasinya anak tidak
dapat memahami persepsi konseptual orang lain.
2. Semilogical reasoning
Anak-anak mencoba untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa alam
yang misterius, yang dialaminya dalam kehidupan sehari-harinya.
3. Kaku dalam berfikir ( rigidity of
thought )
Berfikirnya itu bersifat centration (
memusat ), yaitu kecenderungan berfikir atas dasar satu dimensi, baik mengenal
objek maupun peristiwa dan tidak menilai dimensi-dimensi lainnya.
c.
Perkembangan Emosional
Pada usia 4 tahun, anak sudah mulai menyadari
dirinya, bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Kesadaran ini diperoleh dari
pengalamannya, bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi orang lain atau benda
lain. Dia menyadari bahwa keinginannya berhadapan dengan keinginan orang lain,
sehingga orang lain tidak selamanya memenuhi keinginannya. Berkembang pula
perasaan harga diri yang menuntut pengakuan dari lingkungannya. Jika
lingkungannya (terutama orang tuanya) tidak mengakui harga diri anak, seperti
memperlakukan dengan anak secara keras, atau kurang menyayanginya, maka pada
diri anak akan berkembang sikap-sikap: keras kepala/menentang, atau menyerah
menjadi penurut yang diliputi rasa harga diri kurang dengan sifat pemalu.
Beberapa emosi yang berkembang pada masa anak, yaitu
sebagai berikut: takut, cemas, marah, cemburu, senang, nyaman, phobia, ingin
tahu, dan kasih sayang. Perkembangan emosi yang sehat sangat membantu bagi
keberhasilan belajar anak. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan emosi
anak yang sehat, guru-guru supaya memberikan bimbingan kepada mereka, agar
mereka dapat mengembangkan hal-hal berikut:
1)
Kemampuan untuk mengenal, menerima, dan berbicara tentang perasaan-perasaannya.
2) Menyadari bahwa ada hubungan antara emosi dengan tingkah laku sosial.
3) Kemanpuan menyalurkan keinginannya tanpa menggangu perasaan orang lain.
4) Kemampuan untuk peka terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain.
2) Menyadari bahwa ada hubungan antara emosi dengan tingkah laku sosial.
3) Kemanpuan menyalurkan keinginannya tanpa menggangu perasaan orang lain.
4) Kemampuan untuk peka terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain.
d.
Perkembangan Bahasa
1. Masa
2,0-2,6 tahun
a) Anak sudah mulai bisa menyusun
kalimat tunggal yang sempurna.
b) Anak sudah mampu memahami tentang perbandingan. Misalnya, anjing lebih besar dari kucing.
c) Anak banyak menanyakan nama dan tempat: apa, di mana, dan dari mana.
d) Anak sudah banyak mengunakan kata-kata yang berawalan dan berakhiran.
b) Anak sudah mampu memahami tentang perbandingan. Misalnya, anjing lebih besar dari kucing.
c) Anak banyak menanyakan nama dan tempat: apa, di mana, dan dari mana.
d) Anak sudah banyak mengunakan kata-kata yang berawalan dan berakhiran.
2. Masa
2,6-6,0 tahun
a) Anak sudah dapat menggunakan kalimat
majemuk beserta anak kalimatnya.
b) Tingkat berfikir anak sudah lebih maju, anak banyak menanyakan soal waktu, sebab-akibat melalui pertanyaan-pertanyaan: kapan, ke mana, mengapa, dan bagaimana.
b) Tingkat berfikir anak sudah lebih maju, anak banyak menanyakan soal waktu, sebab-akibat melalui pertanyaan-pertanyaan: kapan, ke mana, mengapa, dan bagaimana.
Untuk membantu
perkembangan bahasa anak, atau kemampuan berkomunikasi maka orang tua dan guru
seyogianya memfasilitasi, memberi kemudahan, atau peluang kepada anak dengan
sebaik-baiknya, berbagai peluang itu antara lain:
1) Bertutur kata yang baik dengan anak
2) Mau mendengarkan pembicaraan anak
3) Menjawab pertanyaan anak (jangan meremehkan)
4) Mengajak dialog dengan hal-hal sederhana
5) Di sekolah, anak dibiasakan untuk bertanya, mengekspresikan keinginannya, menghafal dan melantunkan lagu dan puisi.
2) Mau mendengarkan pembicaraan anak
3) Menjawab pertanyaan anak (jangan meremehkan)
4) Mengajak dialog dengan hal-hal sederhana
5) Di sekolah, anak dibiasakan untuk bertanya, mengekspresikan keinginannya, menghafal dan melantunkan lagu dan puisi.
e.
Perkembangan Sosial
Pada usia prasekolah, perkembangan sosial anak sudah
tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman
sebayanya. Tanda-tanda perkembangan sosial pada tahap ini adalah:
1)
Anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam
lingkungan bermain.
2) Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan
3) Anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain.
4) Anak mulai dapat bermain bersama anak-anak lain, atau teman sebaya (peer group).
2) Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan
3) Anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain.
4) Anak mulai dapat bermain bersama anak-anak lain, atau teman sebaya (peer group).
Untuk
memfasilitasi perkembangan sosial anak, maka guru-guru hendaknya melakukan
hal-hal sebagai berikut:
1) Membantu anak agar memahami alasan tentang diterapkannya aturan, seperti keharusan memelihara ketetiban di dalam kelas, dan larangan masuk atau keluar kelas saling mendahului.
2) Membantu anak untuk memahami, dan membiasakan mereka untuk memelihara persahabatan, kerja sama, saling membantu, dan saling menghargai dan menghormati.
3) Memberikan informasi kepada anak tentang adanya keragaman budaya, suku dan agama di masyarakat, dan perlunya saling menghormati diantara mereka.
1) Membantu anak agar memahami alasan tentang diterapkannya aturan, seperti keharusan memelihara ketetiban di dalam kelas, dan larangan masuk atau keluar kelas saling mendahului.
2) Membantu anak untuk memahami, dan membiasakan mereka untuk memelihara persahabatan, kerja sama, saling membantu, dan saling menghargai dan menghormati.
3) Memberikan informasi kepada anak tentang adanya keragaman budaya, suku dan agama di masyarakat, dan perlunya saling menghormati diantara mereka.
f.
Perkembangan Kepribadian
Pada masa ini, berkembang kesadaran dan kemampuan
untuk memenuhi tuntutan dan tanggung jawab. Oleh karena itu, agar tidak
berkembang sikap membandel, pihak orang tua perlu menghadapinya secara
bijaksana, penuh kasih sayang, dan tidak bersikap keras. Meskipun mereka mulai
menampakkan keinginan untuk bebas dari tuntutan orang tua, namun pada dasarnya
mereka masih sangat membutuhkan perawatan, asuhan, bimbingan, dan curahan kasih
sayang orang tua.
g.
Perkembangan Moral
Pada masa ini anak sudah memiliki dasar tentang sikap
moralitas terhadap kelompok sosialnya (orang tua, saudara dan teman sebaya).
Melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain. Anak akan belajar memahami
tentang kegiatan atau prilaku mana yang baik/boleh/diterima disetujui atau
buruk/tidak boleh/ditolak/tidak disetujui. Berdasarkan pengalamannya itu, maka
pada masa ini anak harus dilatih atau dibiasakan mengenai bagaimana dia harus
dilatih atau dibiasakan mengenai bagaimana dia harus bertingkah laku.
Dalam rangka membimbing perkembangan moral anak prasekolah
ini, sebaiknya orang tua atau guru-guru, melakukan upaya-upaya:
1) Memberikan
contoh atau teladan yang baik, dalam berprilaku atau bertutur kata.
2) Menanamkan kedisiplinan kepada anak, dalam berbagai aspek kehidupan, seperti memelihara kebersihan atau kesehatan, dan tata karma atau budi pekerti luhur.
3) Mengembangkan wawasan tentang nilai-nilai moral kepada anak, baik melalui pemberian informasi, atau melalui cerita.
2) Menanamkan kedisiplinan kepada anak, dalam berbagai aspek kehidupan, seperti memelihara kebersihan atau kesehatan, dan tata karma atau budi pekerti luhur.
3) Mengembangkan wawasan tentang nilai-nilai moral kepada anak, baik melalui pemberian informasi, atau melalui cerita.
h.
Perkembangan Kesadaran Beragama
Kesadaran
beragama pada anak usia ini ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Sikap keberagamaannya bersifat reprensif (menerima) meskipun banyak bertanya.
2) Pandangan ketuhanannya bersifat antropormorph (dipersonifikasi).
3) Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ritual.
4) Hal ketuhanan dipahamkan secara ideosyncritis (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf berfikirnya yang masih bersifat egosentrik (memandang segala sesuatu dari sudut dirinya).
1) Sikap keberagamaannya bersifat reprensif (menerima) meskipun banyak bertanya.
2) Pandangan ketuhanannya bersifat antropormorph (dipersonifikasi).
3) Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ritual.
4) Hal ketuhanan dipahamkan secara ideosyncritis (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf berfikirnya yang masih bersifat egosentrik (memandang segala sesuatu dari sudut dirinya).
2.4
Karakteristik Pada Fase Sekolah
Pada usia anak sekolah dasar (6-12
tahun) anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelaktual, atau melaksanakan
tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelaktual atau kemampuan kognitif
seperti membaaca, menulis, dan menghitung. Periode ini ditandai dengan tiga
kemampuan atau kecakapan baru, yaitu mengklasifikasikan (mengklompokkan),
menyusun, atau mengasosiasikan (menghubungkan atau menghitung) angka-angka atau
bilangan.
Usia sekolah dasar ini merupakan masa berkembang pesatnya kemampuan mengenal dan menguasai perbendaharaan kata.
Usia sekolah dasar ini merupakan masa berkembang pesatnya kemampuan mengenal dan menguasai perbendaharaan kata.
Terdapat
dua faktor penting yang mempengaruhi perkembangan bahasa, yaitu sebagai
berikut:
a. Proses jadi matang; dengan perkataan lain anak itu menjadi matang (organ-organ suara/bicara sudah berfungsi) untuk berkata-kata.
b. Proses belajar; anak yang telah matang untuk berbicara lalu mempelajari bahasa orang lain dengan jalan mengimitasi atau meniru ucapan/kata-kata yang didengarnya.
a. Proses jadi matang; dengan perkataan lain anak itu menjadi matang (organ-organ suara/bicara sudah berfungsi) untuk berkata-kata.
b. Proses belajar; anak yang telah matang untuk berbicara lalu mempelajari bahasa orang lain dengan jalan mengimitasi atau meniru ucapan/kata-kata yang didengarnya.
a.
Perkembangan Sosial
Maksud perkembangan sosial ini
adalah pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga dikatakan
sebagai proses belajar untuk meyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok,
tadisi dan moral (agama). Perkembangan sosial pada anak-anak sekolah dasar
ditandai dengan perluasan hubungan, disamping dengan keluarga juga dia mulai
membentuk ikatan baru dengan teman sebaya (peer group) atau teman
sekelas, sehingga ruang gerak hubungan sosialnya telah bertambah luas.
Pada usia ini, anak mulai memiliki
kesanggupan menyesuaikan diri sendiri (egosentris) kepada sikap yang kooperatif
(bekerja sama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan orang
lain). Anak dapat berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman sebayanya dan
bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok (gang),
dia merasa tidak senang apabila tidak diterima dalam kelompoknya.
Berkat perkembangan sosial, anak
dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebaya maupun dengan lingkungan
masyarakat sekitarnya. Dalam proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan
sosial ini dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan memberikan tugas-tugas
kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik (seperti, membersihkan kelas dan
halaman sekolah), maupun tugas yang membutuhkan pikiran (seperti merencanakan
kegiatan camping, membuat laporan study tour).
Tugas-tugas kelompok ini harus
memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk menunjukan prestasinya,
tetapi juga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Dengan melaksanakan tugas
kelompok, peserta didik dapat belajar tentang sikap dan kebiasaan dalam bekerja
sama, saling menghormati, bertenggang rasa dan bertanggung jawab.
b.
Perkembangan
Kepribadian
Emosi merupakan salah satu aspek
perkembangan yang melekat pada diri anak-anak. Kondisi emosi itu sendiri dapat
diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu positif (misalnya, gembira) dan
negatif (misalnya sedih). Konsep emosi cukup penting bila dikaitkan dengan
fungsinya dalam hubungan interpersonal. Dalam hal ini, ekspresi emosi akan
menjadi fasilitasi bagi seorang anak untuk dapat mengungkapkan perasaannya,
perilakunya, serta keinginan-keinginannya. Pada hubungan antara anak dan
orangtua, ekspresi emosi merupakan bahasa pertama kali dalam berkomunikasi.
Seorang bayi telah mampu bereaksi terhadap ekspresi wajah dan nada suara orang
tuanya.
Aspek lain dalam perkembangan
kepribadian anak adalah pemahaman atau konsep diri. Pada masa kanak-kanak awal,
anak biasanya memiliki pemahaman diri yang bersifat fisik ataupun aktivitas
yang mereka lakukan. Ketika anak ditanya tentang siapa mereka, maka jawaban
yang muncul biasanya berkisar pada ukuran tubuh atau aktivitas yang
disenanginya. Konsep pemahaman diri ini menjadi lebih bersifat internal pada
masa kanak-kanak menengah dan akhir. Anak-anak yang berada pada tingkat Sekolah
Dasar telah mampu menyebutkan sifat-sifat psikologis dalam mendeskripsikan
dirinya. Di samping itu, aspek sosial cukup memegang peranan besar dalam
memahami konsep dirinya. Pada saat ini, anak mulai membandingkan keadaannya
dengan keadaan orang-orang di sekelilingnya, terutama dengan teman sebayanya.
2.5 Karakteristik Pada Fase Remaja
Fase remaja merupakan segmen
perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ
fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi. Menurut Konopka (Pikunas, 1976)
masa remaja meliputi (a)remaja awal 12-15 tahun, (b)remaja madya 15-18 tahun,
(c)remaja akhir 19-22 tahun. Sementara Salzman mengemukakan, bahwa remaja
merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap
orangtua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual,
perenungan diri dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.
a.
Perkembangan
Sosial
Pada masa remaja berkembang “social
cognition”, yaitu kemapuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang
lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat
nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahamannya ini, mendorong remaja untuk
menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan mereka (terutama teman
sebaya), baik melalui jalinan persahabatan maupun percintaan (pacaran)
Dalam hubungan persahabatan, remaja
memilih teman yang memiliki psikologis yang relatif sama dengan dirinya, baik
menyangkut interes, sikap, nilai dan kepribadian.
Pada masa ini juga berkembang sikap “conformity”,
yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai
kebiasaan, kegemaran (hobby) atau keinginan orang lain (teman sebaya).
Perkembangan sikap konformitas pada remaja dapat memberikan dampak yang positif
maupun yang negatif bagi dirinya.
Apabila kelompok teman sebaya yang
diikuti atau diimitasinya itu menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral
atau agama dapat dipertanggungjawabkan, seperti kelompok remaja yang taat
beribadah, memilki budi pekerti yang luhur, rajin belajar dan aktif dalam
kegiatan-kegiatan sosial, maka kemungkinan besar remaja tersebut akan
menampilkan pribadinya yang baik. Sebaliknya, apabila kelompoknya itu
menampilkan sikap dan prilaku malasuay atau melecehkan nilai-nilai moral, maka
sangat dimungkinkan renaja akan menampilkan prilaku seperti kelompoknya
tersebut. Contohnya, tidak sedikit remaja (terutama di kota-kota besar ) yang
menjadi pengindap narkotika, ecstasy, shabu-shabu, minuman keras dan
bahkan free sex, karena mereka bergaul dengan kelompok sebaya yang sudah
biasa melakukan hal-hal tersebut.
Penyesuaian sosial dapat diartikan
sebagai “kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial,
situasi, dan relasi”. Remaja dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian
sosial ini, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
b.
Perkembangan
Kepribadian
Kepribadian merupakan sistem yang
yang dinamis dari sifat, sikap dan kebiasaan yang menghasilkan tingkat
konsistensi respons individu yang beragam (pikunas, 1976, dikutip dari buku
Psikologi Pendidikan, 2007). Sifat-sifat kepribadian mencerminkan perkembangan
fisik, seksual, emosional, sosial, kognitif, dan nilai-nilai.
Fase remaja merupakan saat yang
paling penting bagi perkembangan dan intregrasi kepribadian. faktor-faktor dan
pengalaman baru yang tampak terjadinya perubahan kepribadian pada masa remaja,
meliputi (1) perolehan pertumbuhan fisik yang menyerupai masa dewasa; (2)
kematangan seksual yang disertai dengan dorongan-dorongan dan emosi baru; (3)
kesadaran terhadap diri sendiri, keinginan untuk mengarahkan diri dan
mengevaluasi kembali tentang standar (norma), tujuan, dan cita-cita; (4)
kebutuhan akan persahabatan yang bersipat heteroseksual, berteman dengan pria
atau wanita, dan; (5) munculnya konflik sebagai dampak dari masa transisi
antara masa anak dan masa dewasa.
Masa remaja merupakan saat
berkembangnya identity (jati diri). Perkembangan ini merupakan isu
sentral pada masa remaja yang memberikan dasar bagi masa dewasa. Dapat juga
dikatakan sebagai aspek sentral bagi kepribadiaan yang sehat yang merefleksikan
kesadaran diri, kemampuan mengindentifikasi orang lain dan mempelajari
tujuan-tujuan agar dapat berpartisipasi dalam kebudayaannya. Sejak masa anak,
sudah berkembang kesadaran akan diri dan masa remaja merupakan saat pertama
berkembang usahanya yang sadar untuk menjawab pertanyaan “who am I?” (siapa
saya?).
Adapun dalam budaya Amerika, periode
remaja ini dipandang sebagai masa “Strom & Stress”, frustrasi dan , konflik
dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan
teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (Lustin
Pikunas, 1976).
a.
Masa
remaja awal (sekitar usia 13-16 tahun)
Pada masa ini terjadi perubahan
jasmani yang cepat, sehingga memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi,
kecemasan, dan kekhawatiran. Kegoncangan dalam keagamaan ini muncul, karena
disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Mencapai kematangan emosional
merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Dalam menghadapi
ketidaknyamanan emosional tersebut, tidak sedikit remaja yang mereaksinya
secara depensif, sebagai upaya untuk melindungi kelemahan dirinya.
Kematangan emosi ditandai oleh : 1.
adekuasi emosi: cinta kasih, simpati, altruis (senang menolong orang lain), dan
ramah;
2. mengendalikan emosi: mudah tersinggung, tidak agresif, bersikap optimis dan tidak pesimis (putus asa), dan dapat mengatasi situasi frustasi secara wajar.
2. mengendalikan emosi: mudah tersinggung, tidak agresif, bersikap optimis dan tidak pesimis (putus asa), dan dapat mengatasi situasi frustasi secara wajar.
b.
Masa
remaja akhir (sekitar usia 17-21 tahun)
Secara psikologis, masa ini
merupakan permulaan masa dewasa, emosinya mulai stabil dan pemikirannya mulai
matang (kritis). Dalam kehidupan beragama, remaja mulai melibatkan diri ke
dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.
Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Strategi Active Learning (Belajar
Aktif)
Menurut Glasgow 1996 (Doing Science), belajar aktif adalah dimana seorang siswa berusaha
sungguh-sungguh untuk mengambil tanggungjawab yang lebih besar pada cara
belajarnya sendiri. Mereka mengambil peran yang lebih dinamis dalam menentukan
bagaimana dan apa yang akan mereka ketahui, apa yang seharusnya mereka bisa lakukan,
dan bagaimana mereka melakukannya. Peran mereka berkembang lebih jauh
kepengolaan pendidikan diri dan memotivasi diri menjadi kekuatan lebih besar di
belakang belajar.
Menurut Modell and Michael 1993, belajar aktif
adalah adanya keterlibatan siswa secara individual di dalam proses membangun
model mental mereka dari informasi yang mereka peroleh. Sedangkan menurut UC
Davis TAC, belajar aktif adalah suatu pendekatan belajar yang melibatkan siswa
sebagai “gurunya sendiri”. Perlu diingat, siswa aktif adalah suatu pendekatan,
bukan metode. Strategi active learning
(belajar aktif) adalah strategi belajar mengajar yang bertujuan meningkatkan
mutu pendidikan. Untuk mencapai keterlibatan siswa agar efektif dan efisien
dalam belajar, dibutuhkan berbagai pendukung dalam proses belajar mengajar,
yaitu dari sudut siswa, guru, situasi belajar, program belajar, dan dari sarana
belajar.
Menurut Ujang Sukanda, metode active learning (belajar aktif) adalah cara pandang yang menganggap
belajar sebagai kegiatan membangun makna atau pengertian terhadap pengalaman
dan informasi yang dilakukan oleh siswa bukan oleh guru, serta menganggap
mengajar sebagai kegiatan menciptakan suasana yang mengembangkan inisiatif dan
tanggungjawab belajar siswa sehingga berkeinginan terus untuk belajar selama
hidupnya, dan tidak bergantung terhadap guru atau orang lain apabila mereka
mempelajari hal-hal yang baru.
Menurut Melvin L. Silberman, strategi active learning (belajar aktif) merupakan
sebuah kesatuan sumber kumpulan strategi pembelajar yang komprehensif, meliputi
berbagai cara untuk membuat peserta didik menjadi aktif. Dari beberapa
pendapat, dapat disimpulkan bahwa strategi active
learning (belajar aktif) adalah salah satu cara atau stategi belajar
mengajar yang menuntut keaktifan serta partisipasi siswa dalam kegiatan belajar
seoptimal mungkin sehingga siswa mampu mengubah tingkah lakunya secara efektif
dan efisien.
B.
Prinsip – prinsip Strategi Active Learning (Belajar Aktif)
Prinsip-prinsip strategi active
learning adalah sebagai berikut :
1. Prinsip
motivasi.
2. Prinsip
latar konteks.
3. Prinsip
keterarahan pada titik pusat atau fokus tertentu.
4. Prinsip
hubungan sosial.
5. Prinsip
belajar sambil bekerja.
6. Prinsip
perbedaan perseorangan.
7. Prinsip
menemukan.
8. Prinsip
pemecahan masalah.
Pada hakikatnya, siswa telah memiliki potensi dalam
dirinya maka guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari dan
menemukan informasi sendiri. Dalam pelaksanaan mengajar hendaknya dapat
diperhatikan beberapa prinsip belajar mengajar pada waktu proses belajar mengajar
agar siswa melakukan kegiatan secara optimal. Oleh karena itu, prinsip-prinsip
tersebut bukan hanya untuk diketahui melainkan yang lebih penting dilaksanakan
pada waktu mengajar sehingga mendorong kegiatan belajar siswa seoptimal
mungkin.
C. Komponen Strategi Active Learning (Belajar Aktif)
Komponen-komponen pendekatan active learning adalah sebagai berikut:
1. Pengalaman
Siswa akan belajar banyak melalui
perbuatan. Pengalaman langsung mengaktifkan lebih banyak indra daripada hanya
melalui pendengaran. Untuk mengenal adanya benda tenggelam dan terapung dalam
air, siswa akan merasa lebih mantap apabila mencobanya sendiri daripada hanya
menerima penjelasan dari guru.
2. Interaksi
Belajar akan berlangsung dengan
baik dan meningkat kualitasnya apabila berdiskusi, saling bertanya dan
mempertanyakan, dan atau saling menjelaskan. Pada saat siswa ditanyakan hal
yang mereka kerjakan, mereka terpacu untuk berfikir menguraikan lebih jelas
sehingga kualitas pendapat itu menjadi lebih baik.
Diskusi, dialog, dan tukar gagasan
akan membantu siswa mengenal hubungan-hubungan baru tentang sesuatu dan
membantu mereka memiliki pemahaman yang lebih baik. Siswa perlu berbicara
secara bebas dan tidak terbayang-bayang rasa takut sekalipun dengan pertanyaan
yang menuntut alasan atau argumen dapat membantu mengoreksi pendapat asalkan
didasarkan pada bukti.
3. Komunikasi
Pengungkapan pikiran dan perasaan,
baik secara lisan maupun tulisan, merupakan kebutuhan siswa dalam mengungkapkan
dirinya untuk mencapai kepuasan. Mengungkapkan pikiran, baik dalam mengemukakan
gagasan sendiri maupun menilai gagasan orang lain, akan memantapkan pemahaman
siswa tentang sesuatu yang sedang dipikirkan atau dipelajari.
4. Refleksi
Apabila siswa mengungkapkan
gagasannya kepada orang lain dan mendapat tanggapan, ia akan merenungkan
kembali gagasannya kemudian melakukan perbaikan sehingga memiliki gagasan yang
lebih mantap. Refleksi dapat terjadi sebagai akibat dari interaksi dan
komunikasi. Umpan balik dari guru atau siswa lain terhadap hasil kerja seorang
siswa, yang berupa pertanyaan yang matang (membuat siswa berpikir), dapat merupakan
pemicu bagi siswa untuk melakukan refleksi tentang apa yang sedang dipikirkan
atau dipelajari.
Adapun pendukung dari komponen
pendekatan active learning adalah
sebagai berikut:
1. Sikap
dan perilaku guru
Dalam menciptakan suasana yang
dapat mengembangkan inisiatif dan tanggung jawab belajar siswa, maka sikap dan
perilaku guru hendaknya:
a. Terbuka,
yaitu mau mendengarkan pendapat siswa.
b. Membiasakan
siswa untuk mendengarkan apabila guru atau siswa berbicara.
c. Mengahargai
perbedaan pendapat.
d. Mendorong
siswa untuk memperbaiki kesalahannya.
e. Menumbuhkan
rasa percaya diri siswa.
f. Memberi
umpan balik terhadap hasil kerja siswa.
g. Tidak
terlalu cepat untuk membantu siswa.
h. Tidak
kikir untuk memuji dan menghargai siswa.
i. Tidak
mentertawakan pendapat atau hasil karya siswa sekalipun kurang berkualitas.
j. Mendorong
siswa untuk tidak takut salah dan berani menanggung resiko.
2. Ruang
kelas yang menunjang aktif
a. Berisikan
banyak sumber belajar.
b. Berisikan
banyak alat bantu belajar.
c. Berisikan
banyak hasil karya siswa.
d. Penataan
letak bangku dan meja siswa.
Komponen belajar aktif dan
pendukungnya menunjukkan adanya upaya saling mempengaruhi dan saling mendukung
antara satu dan yang lainnya, misalnya tampilan siswa, tampilan guru, dan
tampilan ruang kelas. Dengan kata lain, suasana belajar aktif adalah dimana
siswa aktif dalam belajar dan guru aktif dalam kegiatan belajar mengajar (KBM).
D.
Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
1.
Pengertian
Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
Pembelajaran aktif adalah pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa
untuk mengalami sendiri, untuk berlatih, untuk berkegiatan, sehingga baik
dengan daya pikir, emosional dan keterampilannya mereka belajar dan berlatih. Pendidik
adalah fasilitator dan perancang suasana kelas demokratis. Kedudukan pendidik
adalah pembimbing dan pemberi arah. Peserta didik merupakan obyek sekaligus
subyek dan mereka bersama-sama saling mengisi kegiatan, belajar aktif dan
kreatif. Disini dibutuhkan partisipasi aktif di kelas, bekerja keras dan mampu
menghargainya, suasana demokratis, saling menghargai dengan kedudukan yang sama
antar teman, serta kemandirian akademis.
Pendekatan ini sebenarnya telah diberlakukan sejak
dahulu. Hanya, kadar keterlibatan siswa itulah yang berbeda. Kalau dahulu guru
banyak menjejalkan fakta, informasi atau konsep kepada siswa, sedangkan saat
ini dikembangkan suatu keterampilan untuk memproses perolehan siswa. Kegiatan
belajar mengajar tidak lagi berpusat pada siswa. Siswa pada hakikatnya memiliki
potensi atau kemampuan yang belum terbentuk secara jelas, maka kewajiban
gurulah untuk merangsang agar mereka mampu menampilkan potensi itu, betapapun
sederhananya.
Melalui pendekatan ini, para guru dapat menumbuhkan
keterampilan-keterampilan pada siswa sesuai dengan taraf perkembangannya
sehingga mereka memperoleh konsep. Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan
untuk memproses sebuah perolehan, siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan
sendiri fakta dan konsep, serta mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut.
Proses belajar mengajar seperti inilah yang dapat menciptakan siswa belajar
aktif.
Semua guru profesional dituntut terampil mengajar
tidak semata-mata hanya menyajikan materi ajar. Guru dituntut memiliki pendekatan
mengajar sesuai dengan tujuan instruksional. Menguasai dan memahami materi yang
akan diajarkan agar dengan cara demikian pembelajar akan benar-benar memahami
apa yang akan diajarkan. Piaget memandang akal seorang anak adalah sebagai agen
yang aktif dan konstruktif yang secara perlahan-lahan maju dalam kegiatan usaha
sendiri yang terus-menerus.
Pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) menuntut
keterlibatan mental siswa terhadap bahan yang dipelajari. CBSA adalah
pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif
terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa
memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif,
afektif, maupun psikomotor. Pendekatan CBSA menuntut keterlibatan mental yang
tinggi sehingga terjadi proses-proses mental yang berhubungan dengan aspek-aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Melalui proses kognitif pembelajar akan memiliki
penguasaan konsep dan prinsip. Konsep CBSA yang dalam bahasa Inggris disebut Student Active Learning (SAL) dapat membantu pengajar
meningkatkan daya kognitif pembelajar. Kadar aktivitas pembelajar masih rendah
dan belum terprogram. Akan tetapi, dengan CBSA para pembelajar dapat melatih
diri menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Tidak untuk
dikerjakan di rumah tetapi dikerjakan di kelas secara bersama-sama.
2.
Dasar-dasar Pemikiran Pendekatan Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA)
Usaha penerapan dan peningkatan CBSA dalam kegiatan
belajar mengajar (KBM) merupakan usaha “proses pembangkitan kembali” atau
proses pemantapan konsep CBSA yang telah ada. Untuk itu perlu dikaji
alasan-alasan kebangkitan kembali dan usaha peningkatan CBSA dasar dan alasan
usaha peningkatan CBSA secara rasional adalah sebagai berikut:
a.
Rasional atau dasar pemikiran dan alasan
usaha peningkatan CBSA dapat ditinjau kembali pada hakikat CBSA dan tujuan
pendekatan itu sendiri.
Dengan cara demikian pembelajar dapat diketahui
potensi, tendensi dan terbentuknya pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
dimilikinya. Pada dasarnya dapat diketahui bahwa baik pembelajar, materi
pelajaran, cara penyajian atau disebut juga pendekatan-pendekatan berkembang.
Jadi, hampir semua komponen proses belajar mengajar mengalami perubahan. Perubahan
ini mengarah ke segi-segi positif yang harus didukung oleh tindakan secara
intelektual, oleh kemauan, kebiasaan belajar yang teratur, mempersenang diri
pada waktu belajar hendaknya tercipta baik di sekolah maupun di rumah.
b.
Implikasi mental-intelektual-emosional
yang semaksimal mungkin dalam kegiatan belajar mengajar akan mampu menimbulkan
nilai yang berharga dan gairah belajar menjadi makin meningkat.
Komunikasi dua arah (seperti halnya pada teori
pusaran atau kumparan elektronik) menantang pembelajar berkomunikasi searah
yang kurang bisa membantu meningkatkan konsentrasi. Sifat melit yang disebut
juga ingin tahu (curionsity)
pembelajar dimotivasi oleh aktivitas yang telah dilakukan. Pengalaman belajar akan
memberi kesempatan untuk melakukan proses belajar berikutnya dan akan
menimbulkan kreativitas sesuai dengan isi materi pelajaran.
c.
Upaya memperbanyak arah komunikasi dan
menerapkan banyak metode, media secara bervariasi dapat berdampak positif.
Cara seperti itu juga akan memberi peluang
memperoleh balikan untuk menilai efektivitas pembelajar itu. Ini dimaksud
balikan tidak ditunggu sampai ujian akhir, tetapi dapat diperoleh pembelajar
dengan segera. Dengan demikian, kesalahan-kesalahan dan kekeliruan dapat segera
diperbaiki. Jadi, CBSA memberi alasan untuk dilaksanakan penilaian secara efektif,
secara terus-menerus melalui tes akhir tatap muka, tes formatif, dan tes
sumatif.
d.
Dilihat dari segi pemenuhan meningkatkan
mutu pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik) maka strategi
dengan pendekatan CBSA layak mendapat prioritas utama.
Dengan wawasan pendidikan sebagai proses belajar
mengajar perlu diperhatikan bahwa betapa pentingnya proses belajar mengajar
yang tanggungjawabnya diserahkan sepenuhnya kepada pembelajar. Dalam hal ini
materi pembelajar harus benar-benar dibuat sesuai dengan kemampuan berpikir
mandiri, pembentukan kemauan si pembelajar. Situasi pembelajar mampu
menumbuhkan kemampuan dalam memecahkan masalah secara abstrak, dan juga mencari
pemecahan secara praktik.
3.
Hakikat
Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
Hakikat CBSA adalah proses keterlibatan antara
intelektual dengan emosional siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang
memungkinkan terjadinya :
a.
Proses asimilasi atau pengalaman
kognitif, yaitu yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan.
b.
Proses pembuatan atau pengalaman
langsung, yaitu yang memungkinkan terbentuknya keterampilan.
c.
Proses penghayatan dan internalisasi
nilai, yaitu yang memungkinkan terbentuknya nilai dan sikap.
Walaupun
demikian, hakikat CBSA tidak saja terletak pada tingkat keterlibatan intelektual-emosional,
tetapi juga terletak pada diri siswa yang memiliki potensi, tedensi, atau
kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan siswa selalu aktif dan dinamis. Oleh
sebab itu, guru diharapkan mempunyai kemampuan profesional sehingga ia dapat
menganalisis situasi instruksional, kemudian mampu merencanakan sistem
pengajaran yang efektif dan efisien.
4.
Prinsip – prinsip Pendekatan Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA)
Berikut ini adalah prinsip-prinsip pendekatan Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang nampak pada empat dimensi, yaitu :
a.
Dimensi siswa atau subyek didik
1)
Keberanian mewujudkan minat, keinginan,
pendapat serta dorongan-dorongan yang ada pada siswa dalam proses
belajar-mengajar. Keberanian tersebut terwujud karena memang direncanakan oleh
guru, misalnya dengan format mengajar melalui diskusi kelompok, dimana siswa
tanpa ragu-ragu mengeluarkan pendapat.
2)
Keberanian mencari kesempatan untuk
berpartisipasi dalam persiapan dan tindak lanjut dari proses belajar mengajar
maupun tindak lanjut dari suatu proses belajar mengajar. Hal ini terwujud bila
guru bersikap demokratis.
3)
Kreativitas siswa dalam menyelesaikan
kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu yang
memang dirancang oleh guru.
4)
Peranan bebas dalam mengerjakan sesuatu
tanpa merasa ada tekanan dari siapapun, termasuk guru.
b.
Dimensi guru
1)
Adanya usaha guru untuk mendorong siswa
dalam meningkatkan kegairahan serta partisipasi siswa secara aktif dalam proses
belajar mengajar.
2)
Kemampuan guru dalam menjalankan
peranannya sebagai inovator dan motivator.
3)
Sikap demokratis yang ada pada guru
dalam proses belajar mengajar.
4)
Pemberian kesempatan kepada siswa untuk
belajar sesuai dengan caranya serta tingkat kemampuan masing-masing.
5)
Kemampuan untuk menggunakan berbagai
jenis strategi belajar mengajar serta penggunaan multimedia. Kemampuan ini akan
menimbulkan lingkungan belajar yang merangsang siswa untuk mencapai tujuan.
c.
Dimensi program
1)
Tujuan instruksional, konsep serta
materi pelajaran yang memenuhi kebutuhan, minat serta kemampuan siswa yang merupakan
suatu hal yang sangat penting diperhatikan guru.
2)
Program yang memungkinkan terjadinya
pengembangan konsep maupun aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar.
3)
Program yang fleksibel (luwes) yang
artinya dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
d.
Dimensi situasi belajar mengajar
1)
Situasi belajar yang menjelmakan
komunikasi yang baik, hangat, bersahabat, antara guru dengan siswa maupun
antara siswa sendiri dalam proses belajar mengajar.
2)
Adanya suasana gembira dan bergairah pada
siswa dalam proses belajar mengajar.
5.
Rambu – Rambu Pendekatan Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA)
Dalam melakukan pendekatan CBSA, dapat dilihat
berdasarkan :
a.
Pengelompokan siswa
Strategi belajar mengajar yang dipilih oleh guru
harus disesuaikan dengan tujuan pengajaran serta materi tertentu. Ada materi
yang sesuai untuk proses belajar secara individual, akan tetapi ada pula yang
lebih tepat untuk proses belajar secara kelompok. Ditinjau dari segi waktu,
keterampilan, alat atau media serta perhatian guru, pengajaran yang berorientasi
pada kelompok kadang-kadang lebih efektif.
b.
Kecepatan masing-masing siswa
Pada saat-saat tertentu, siswa dapat diberi
kebebasan untuk memilih materi pelajaran dengan media pembelajaran yang sesuai
dengan kebutuhan mereka masing-masing. Strategi ini memungkinkan siswa untuk
belajar lebih cepat bagi mereka yang mampu, sedangkan bagi mereka yang kurang,
akan belajar sesuai dengan batas kemampuannya. Contoh untuk strategi belajar
mengajar berdasarkan kecepatan siswa adalah pengajaran modul.
c.
Pengelompokan kemampuan
Pengelompokan yang homogen harus didasarkan pada
kemampuan siswa. Apabila pada pelaksanaan pengajaran untuk pencapaian tujuan
tertentu, siswa harus dijadikan satu kelompok, maka hal ini mudah dilaksanakan.
Siswa akan mengembangkan potensinya secara optimal apabila berada disekeliling
teman yang hampir sama tingkat perkembangan intelektualnya.
d.
Pengelompokan persamaan minat
Guru perlu memberi kesempatan kepada siswa untuk
berkelompok berdasarkan kesamaan minat. Pengelompokan ini biasanya terbentuk
atas kesamaan minat dan berorientasi pada suatu tugas atau permasalahan yang
akan dikerjakan.
e.
Domain-domain tujuan
Strategi belajar mengajar berdasarkan domain atau
kawasan (ranah) tujuan, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Menurut
Benjamin S. Bloom CS, ada tiga domain, yaitu:
a) Domein
kognitif yang menitik beratkan aspek cipta.
b) Domein
afektif untuk aspek sikap.
c) Domein
psikomotor untuk aspek gerak.
2) Menurut
Gagne, ada lima macam kemampuan, yaitu:
a) Keterampilan
intelektual.
b) Strategi
kognitif.
c) Informasi
verbal.
d) Ketrampilan
motorik.
e) Sikap
dan nilai
Pendekatan CBSA dapat diterapkan dalam setiap proses
belajar mengajar. Kadar CBSA dalam setiap proses belajar mengajar dipengaruhi
oleh penggunaan strategi belajar mengajar yang diperoleh dan terjadinya
asimilasi kognitif pengalaman belajar itu sendiri oleh siswa.
E.
Kreativitas
sebagai Fokus Pendekatan Belajar Aktif
Belajar aktif melibatkan
penggunaan pancaindera. Makin banyak indera yang digunakan makin efektif
kegiatan belajar karena peserta didik akan lebih mudah menangkap apa yang
dipelajari. Penggunaan lebih banyak indera saja tidaklah cukup. Baik untuk
memanfaatkan pancaindera maupun untuk melancarkan kinerja otak, pendekatan
belajar aktif mempersyaratkan gerakan. Karena itu, kebanyakan kegiatan belajar
aktif melibatkan tindakan (action) peserta didik. Gerakan yang berfungsi
memperlancar kinerja otak diwujudkan dalam bentuk tindakan atau action dalam
pendekatan belajar aktif.
Kreativitas mensinergikan
fungsi dan aktivitas belahan kiri dan kanan otak. Dalam praksis di sekolah,
para guru dilatih dan didorong agar menerapkan beragam aktivitas guna
mengembangkan potensi kreatif peserta didik. Kreativitas adalah fokus belajar
aktif yang dilakukan melalui penciptaan ruang bagi peserta didik untuk
berkreasi. Kreativitas utamanya mengandaikan tidak ada penilaian (judgment)
salah-benar dari guru karena kepada peserta didik diberi ruang kebebasan
berekspresi. Guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing peserta didik
untuk menemukan makna dan mengembangkan kompetensi.
F.
Implikasi
Pendekatan Belajar Aktif
1.
Model Pembelajaran PAKEM
a.
Pembelajaran yang aktif
Berarti pembelajaran perlu mengaktifkan
semua siswa dan guru, baik secara fisik ( termasuk segenap indera) maupun
mental, bahkan moral dan spiritual. Misalnya kalau kelas sedang belajar tentang
sifat-sifat air (IPA), lalu ada percobaan atau eksperimen sederhana, sehingga
secara fisik aktif semua indera terlibat, juga berfikir dan menganalisis kenapa
permukaan air selalu datar walaupun wadahnya dimiringkan misalnya, terus dikaitkan
dengan kebesaran Tuhan menciptakan air bagi kesejahteraan hidup manusia, oleh
sebab itu perlu dijaga kelestariannya.
b.
Pembelajaran yang kreatif
Yaitu mempunyai makna, tidak sekedar
melaksanakan dan menerapkan acuan kurikulum, karena kurikulum sekedar dokumen
dan rencana, maka perlu dikritisi, perlu dikembangkan secara kreatif, ada
seribusatu jalan untuk mempelajari dan memperdalam satu kompetensi tertentu.
Jadi ada kreativitas pengembangan kompetensi dasar dan juga ada kreativitas
dalam pelaksanaannya di kelas, termasuk pemanfaatan lingkungan sebagai sumber,
bahan dan sarana untuk belajar.
Lingkungan dapat bermakna lingkungan
fisik, dan sosial, fisik bisa berupa lingkungan alam dan gejala alam sedang
lingkungan sosial merupakan segala perilaku manusia dan hubungannya dengan
manusia lain, maupun terhadap lingkungan alam. Misalnya pasar, sikap
berlalulintas, pelestarian dan perusakan lingkungan oleh manusia dan
sebagainya.
c.
Pembelajaran dikatakan
efektif
Jika mencapai sasaran dan tujuan serta
banyak hal yang yang “didapat” oleh siswa, bahkan gurupun pada setiap kegiatan
pembelajaran mendapatkan “pengalaman baru” sebagai hasil interaksi dua arah
dengan siswanya. Agar kita tahu apakah pembelajaran di kelas kita efektif atau
tidak, setiap akhir pembelajaran perlu kita lakukan evaluasi, evaluasi yang
dimaksudkan disini bukan sekedar tes untuk siswa, tetapi sejenis “perenungan”
yang dilakukan oleh guru dan siswa (refleksi) dan didukung oleh data catatan
guru, salah satunya mungkin hasil latihan/sejenis tes lisan, tulis maupun
perilaku. Kemudian barulah kita simpulkan sudahkah tujuan yang kita tetapkan
telah tercapai, seberapa besar pencapaiannya, apa kekurangan dan kelebihannya
serta apa tindaklanjut dan rencana kita berikutnya, yang berupa program
perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran.
d.
Pembelajaran yang
menyenangkan
Pembelajaran ini harus dimaknai secara
luas tidak sekedar menyenangkan, tetapi pembelajaran juga harus dapat
“dinikmati” oleh pembelajarnya. Pembelajaran dapat dinikmati jika pembelajaran
tersebut “mengasyikkan”. Mengasyikkan tidak sekedar menyenangkan tetapi ada
unsur ketekunan, inner motivation,
setelah mengetahui sesuatu hal selalu ingin tahu lebih lanjut, dan mempunyai
ketahanan belajar lebih lanjut. belajar itu harus Menyenangkan, Mengasyikkan,
Menguatkan dan Mencerdaskan. Selain itu siswa harus dilatih Olah Pikir, Olah
Hati, Olah Rasa dan Olah Raga.
Disisi lain pembelajaran perlu
memberikan tantangan kepada siswa untuk berfikir, mencoba dan belajar lebih
lanjut, penuh dengan percaya diri dan mandiri untuk mengembangkan potensi
positifnya secara optimal. Menjadi manusia yang berkarakter penuh percaya diri,
menjadi dirinya sendiri dan mempunyai semangat kompetitif dalam nuansa
kebersamaan. Sekolah, guru, serta media
dan sarana yang ada hanya mendukung dan memfasilitasi. Namun, walaupun hanya
memfasilitasi sekolah dan guru serta stakeholder lain termasuk pemerintah
haruslah mengupayakan agar potensi yang ada, serta inner motivation dan
kemandirian siswa dapat terbentuk.
Langganan:
Postingan (Atom)